Kemarin aku bingung. Bersama dengan teman-teman di kantor kami hendak menengok seorang pendeta emiritus—yang tentunya telah memiliki pengalaman iman dan pelayanan yang jauuuuh lebih kaya dari aku—yang saat ini sedang menderita kanker, yaitu Pdt. Em. Djimanto Setyadi di GKJ Kebonarum. Rencananya aku diminta untuk membawakan renungan bagi beliau. Usiaku sendiri kalau dihitung persis sepertiga dari usia beliau. Beliau sudah 63 tahun sedangkan aku 31 tahun. Ehm... seperti seorang cucu yang menasehati kakeknya... anak bau kencur yang ngotbahi seseorang yang sudah banyak makan asam-garam kehidupan. Tapi kebingungan itu harus kutepis. Ini sebagai wujud dari sebuah kepedulian.
Kami dari TPK bersama-sama dengan teman-teman dari Gloria. Berangkat dari Jogja sekitar jam 11-an. Berangkat dengan penuh sukacita… bercanda terus di perjalanan… tapi aku sebenarnya masih agak deg-degan. Sampai di rumah Pak Djimanto kami disambut dengan hangat oleh Ibu dan dipersilakan masuk. Taka lama kemudian Pak Djimanto keluar dengan wajah khasnya yang penuh senyuman. Beliau memang pribadi yang hangat dan murah senyum… suka bercanda juga.
Sudah banyak buku yang ditulis oleh Pdt. Em. Djimanto Setyadi. Judul di atas—Hadapilah dengan Senyum—adalah judul buku terakhir karya beliau yang telah diterbitkan. Sepertinya buku itu ditulis sebagai ekspresi iman Pak Djimanto sendiri, sehingga saat ini saya speakless, tidak tahu harus berkata apa. Saya telah membaca buku itu—meskipun belum selesai—dan buku itu sungguh buku yang menguatkan dan menumbuhkan pengharapan bagi pembacanya.
Tidak lama kemudian, ternyata ada rombongan tamu lain yang datang berkunjung. Mereka adalah para pendeta dari LPPS dan para stafnya. Ehm… aku agak lega karena banyak pendeta senior di situ dan memang aku tidak jadi membawakan renungan.
Dalam perkunjungan itu kami sungguh bersukacita. Pak Djimanto meskipun dalam kondisi sakit yang sedemikian masih suka bercanda. Kami datang untuk memberi penghiburan dan dukungan kepada beliau… hehe… tapi justru Pak Djimanto yang menghibur kami dengan candanya dan menguatkan kami dengan kesaksian akan pengalaman-pengalamannya.
Karena aku juga sudah terlanjur menyiapkan renungan, aku bagikan aja renungannya di sini. Semoga bisa menjadi berkat.
Bacaan dari 2 Korintus 12:7-10 sepertinya cocok untuk mendasari renungan ini, karena di sini berkisah tentang Paulus yang telah melayani sedemikian rupa tetapi Tuhan masih mengijinkan Paulus merasakan pedihnya “duri dalam daging” yang ada di tubuhnya.
Amin.
Karena aku juga sudah terlanjur menyiapkan renungan, aku bagikan aja renungannya di sini. Semoga bisa menjadi berkat.
Bacaan dari 2 Korintus 12:7-10 sepertinya cocok untuk mendasari renungan ini, karena di sini berkisah tentang Paulus yang telah melayani sedemikian rupa tetapi Tuhan masih mengijinkan Paulus merasakan pedihnya “duri dalam daging” yang ada di tubuhnya.
(7) Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. (8) Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. (9) Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. (10) Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.
Telah sekian lama Paulus melayani Tuhan dan hidupnya dia korbankan untuk kemuliaan nama Tuhan. Banyak orang mengenal Kristus karena pengajarannya. Sungguh Paulus adalah sosok yang penuh iman dan setia. Ketika kita melihat kisah dari perikop di atas, masih ada hal yang harus dia tanggung yang pada ayat 7 disebutkannya sebagai “duri dalam daging”.
Di sini kita dapat melihat sesuatu yang seolah bertolak belakang dengan apa yang telah dikerjakan Rasul Paulus bagi Tuhan. Secara manusiawi tentu kita akan berpikir bahwa melalui pelayanan yang luar biasa, tentu berkat Tuhan sungguh luar biasa juga. Tetapi ternyata masih ada “duri dalam daging” yang Tuhan izinkan untuk tetap menjadi tanggungan Paulus. Bahkan dikatakan dalam ayat 8, Paulus sudah berdoa supaya “duri dalam daging” itu dihilangkan dari tubuhnya, tetapi Tuhan berkehendak lain.
Pada waktu kunjungan ke rumah Pak Djimanto kemarin, beliau juga bercerita bahwa banyak jemaat dan teman-temannya yang berpikir demikian. Bahwa Pak Djimanto itu telah melakukan pelayanan yang luar biasa, kenapa setelah emeritus—yang seharusnya dapat menikmati masa tuanya—justru mengalami sakit sedemikian. Tapi Pak Djimanto justru menanggapi sebaliknya. Beliau berkata bahwa dirinya juga manusia biasa yang punya kelemahan dan bisa menderita sakit. Beliau berkata sebagai manusia kalau memang harus sakit ya dijalani dan jangan sampai nyaruwe kehendak Tuhan… jangan sampai protes sama Tuhan dan itung-itungan tentang apa yang telah kita lakukan bagi kemuliaan nama Tuhan.
Kembali pada renungan ini, kita sebagai orang percaya mengimani bahwa kehendak Tuhan adalah baik adanya, bahkan yang terbaik bagi hidup kita. Demikian juga dengan Rasul Paulus, dia mengimani sesuatu dari apa yang dideritanya. Pertama, Rasul Paulus mengatakan bahwa sakit yang dideritanya adalah “… supaya aku jangan meninggikan diri” (ayat 7). Rasul Paulus masih melihat sisi positif dari apa yang dideritanya dan dia bersyukur karena itu. Kedua, ketika dia meminta kepada Tuhan supaya sakit itu dilepaskan dari tubuhnya, Tuhan memberi jawaban bahwa “… dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (ayat 9). Semua itu dijalani oleh Rasul Paulus di dalam sukacita dan kerelaan. Eka Darmaputra mengibaratkan iman ini seperti paku. Semakin dipukul akan semakin kuat menancap dan semakin sulit dilepaskan. Semoga aku juga bisa beriman seperti itu.
Melalui setiap renungan yang ditulis oleh Pak Djimanto dalam buku-bukunya, saya bisa merasakan bahwa beliau juga mengimani apa yang diimani oleh Rasul Paulus, sehingga beliau bisa berkata, “Hadapilah dengan senyuman.” Senyum tenang! Senyum tegar! Senyum kemenangan!
“Duri dalam daging” itu secara jasmani memang rasanya sakit luar biasa, tetapi secara rohani dihayati bukan lagi sebuah sakit yang menyiksa, tetapi suatu berkat di mana beliau dapat merasakan kasih karunia Tuhan. Sehingga seperti Rasul Paulus, beliau juga dapat berkata, “Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (ayat 10).
Kesembuhan adalah apa yang kita semua harapkan. Kita masih ingin membaca tulisan-tulisan Pak Djimanto, jemaat masih mengharapkan dilayani beliau. Itu semua kita serahkan kepada Tuhan. Kita akan terus meminta di dalam doa, dan kuasa Tuhan yang berkarya. Mari kita melakukan bagian kita dengan iman, dengan memberikan dukungan dan juga doa bagi Pak Djimanto. Kehendak Tuhan-lah yang terlaksana dan yang terbaik bagi kita.
Pak Djimanto juga bersaksi bahwa kalau Tuhan izinkan untuk sembuh, beliau masih ingin melakukan banyak hal bagi kemuliaan nama Tuhan. Sungguh hal itu membuatku terharu…
Seperti apa yang difirmankan Tuhan ketika Lazarus sakit, itu juga yang menjadi pengharapan kita bagi Pak Djimanto, "Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan" (Yoh. 11:4).