07 September 2010

HADAPILAH DENGAN SENYUM!


Kemarin aku bingung. Bersama dengan teman-teman di kantor kami hendak menengok seorang pendeta emiritus—yang tentunya telah memiliki pengalaman iman dan pelayanan yang jauuuuh lebih kaya dari aku—yang saat ini sedang menderita kanker, yaitu Pdt. Em. Djimanto Setyadi di GKJ Kebonarum. Rencananya aku diminta untuk membawakan renungan bagi beliau. Usiaku sendiri kalau dihitung persis sepertiga dari usia beliau. Beliau sudah 63 tahun sedangkan aku 31 tahun. Ehm... seperti  seorang cucu yang menasehati kakeknya... anak bau kencur yang ngotbahi seseorang yang sudah banyak makan asam-garam kehidupan. Tapi kebingungan itu harus kutepis. Ini sebagai wujud dari sebuah kepedulian.

Kami dari TPK bersama-sama dengan teman-teman dari Gloria. Berangkat dari Jogja sekitar jam 11-an. Berangkat dengan penuh sukacita… bercanda terus di perjalanan… tapi aku sebenarnya masih agak deg-degan. Sampai di rumah Pak Djimanto kami disambut dengan hangat oleh Ibu dan dipersilakan masuk. Taka lama kemudian Pak Djimanto keluar dengan wajah khasnya yang penuh senyuman. Beliau memang pribadi yang hangat dan murah senyum… suka bercanda juga.

Sudah banyak buku yang ditulis oleh Pdt. Em. Djimanto Setyadi. Judul di atas—Hadapilah dengan Senyum—adalah judul buku terakhir karya beliau yang telah diterbitkan. Sepertinya buku itu ditulis sebagai ekspresi iman Pak Djimanto sendiri, sehingga saat ini saya speakless, tidak tahu harus berkata apa. Saya telah membaca buku itu—meskipun belum selesai—dan buku itu sungguh buku yang menguatkan dan menumbuhkan pengharapan bagi pembacanya.

Tidak lama kemudian, ternyata ada rombongan tamu lain yang datang berkunjung. Mereka adalah para pendeta dari LPPS dan para stafnya. Ehm… aku agak lega karena banyak pendeta senior di situ dan memang aku tidak jadi membawakan renungan.

Dalam perkunjungan itu kami sungguh bersukacita. Pak Djimanto meskipun dalam kondisi sakit yang sedemikian masih suka bercanda. Kami datang untuk memberi penghiburan dan dukungan kepada beliau… hehe… tapi justru Pak Djimanto yang menghibur kami dengan candanya dan menguatkan kami dengan kesaksian akan pengalaman-pengalamannya.




Karena aku juga sudah terlanjur menyiapkan renungan, aku bagikan aja renungannya di sini. Semoga bisa menjadi berkat.


Bacaan dari 2 Korintus 12:7-10 sepertinya cocok untuk mendasari renungan ini, karena di sini berkisah tentang Paulus yang telah melayani sedemikian rupa tetapi Tuhan masih mengijinkan Paulus merasakan pedihnya “duri dalam daging” yang ada di tubuhnya.

         (7) Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. (8) Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. (9) Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. (10) Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.

Telah sekian lama Paulus melayani Tuhan dan hidupnya dia korbankan untuk kemuliaan nama Tuhan. Banyak orang mengenal Kristus karena pengajarannya. Sungguh Paulus adalah sosok yang penuh iman dan setia. Ketika kita melihat kisah dari perikop di atas, masih ada hal yang harus dia tanggung yang pada ayat 7 disebutkannya sebagai “duri dalam daging”.

Di sini kita dapat melihat sesuatu yang seolah bertolak belakang dengan apa yang telah dikerjakan Rasul Paulus bagi Tuhan. Secara manusiawi tentu kita akan berpikir bahwa melalui pelayanan yang luar biasa, tentu berkat Tuhan sungguh luar biasa juga. Tetapi ternyata masih ada “duri dalam daging” yang Tuhan izinkan untuk tetap menjadi tanggungan Paulus. Bahkan dikatakan dalam ayat 8, Paulus sudah berdoa supaya “duri dalam daging” itu dihilangkan dari tubuhnya, tetapi Tuhan berkehendak lain.

Pada waktu kunjungan ke rumah Pak Djimanto kemarin, beliau juga bercerita bahwa banyak jemaat dan teman-temannya yang berpikir demikian. Bahwa Pak Djimanto itu telah melakukan pelayanan yang luar biasa, kenapa setelah emeritus—yang seharusnya dapat menikmati masa tuanya—justru mengalami sakit sedemikian. Tapi Pak Djimanto justru menanggapi sebaliknya. Beliau berkata bahwa dirinya juga manusia biasa yang punya kelemahan dan bisa menderita sakit. Beliau berkata sebagai manusia kalau memang harus sakit ya dijalani dan jangan sampai nyaruwe kehendak Tuhan… jangan sampai protes sama Tuhan dan itung-itungan tentang apa yang telah kita lakukan bagi kemuliaan nama Tuhan.

Kembali pada renungan ini, kita sebagai orang percaya mengimani bahwa kehendak Tuhan adalah baik adanya, bahkan yang terbaik bagi hidup kita. Demikian juga dengan Rasul Paulus, dia mengimani sesuatu dari apa yang dideritanya. Pertama, Rasul Paulus mengatakan bahwa sakit yang dideritanya adalah “… supaya aku jangan meninggikan diri” (ayat 7). Rasul Paulus masih melihat sisi positif dari apa yang dideritanya dan dia bersyukur karena itu. Kedua, ketika dia meminta kepada Tuhan supaya sakit itu dilepaskan dari tubuhnya, Tuhan memberi jawaban bahwa “… dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (ayat 9). Semua itu dijalani oleh Rasul Paulus di dalam sukacita dan kerelaan. Eka Darmaputra mengibaratkan iman ini seperti paku. Semakin dipukul akan semakin kuat menancap dan semakin sulit dilepaskan. Semoga aku juga bisa beriman seperti itu.

Melalui setiap renungan yang ditulis oleh Pak Djimanto dalam buku-bukunya, saya bisa merasakan bahwa beliau juga mengimani apa yang diimani oleh Rasul Paulus, sehingga beliau bisa berkata, “Hadapilah dengan senyuman.” Senyum tenang! Senyum tegar! Senyum kemenangan!

“Duri dalam daging” itu secara jasmani memang rasanya sakit luar biasa, tetapi secara rohani dihayati bukan lagi sebuah sakit yang menyiksa, tetapi suatu berkat di mana beliau dapat merasakan kasih karunia Tuhan. Sehingga seperti Rasul Paulus, beliau juga dapat berkata, “Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (ayat 10).

Kesembuhan adalah apa yang kita semua harapkan. Kita masih ingin membaca tulisan-tulisan Pak Djimanto, jemaat masih mengharapkan dilayani beliau. Itu semua kita serahkan kepada Tuhan. Kita akan terus meminta di dalam doa, dan kuasa Tuhan yang berkarya. Mari kita melakukan bagian kita dengan iman, dengan memberikan dukungan dan juga doa bagi Pak Djimanto. Kehendak Tuhan-lah yang terlaksana dan yang terbaik bagi kita.

Pak Djimanto juga bersaksi bahwa kalau Tuhan izinkan untuk sembuh, beliau masih ingin melakukan banyak hal bagi kemuliaan nama Tuhan. Sungguh hal itu membuatku terharu…

Seperti apa yang difirmankan Tuhan ketika Lazarus sakit, itu juga yang menjadi pengharapan kita bagi Pak Djimanto, "Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan" (Yoh. 11:4).

Amin.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            



03 September 2010

KAFILAH & ONTA


Suatu hari ada seorang Kafilah yang sedang melakukan perjalanan untuk berdagang. Kafilah ini harus melakukan perjalanan selama berhari-hari. Dengan menunggang unta, Kafilah ini melakukan perjalanannya dengan hati yang penuh sukacita.

Karena hari sudah mulai gelap, Kafilah ini akhirnya berhenti untuk beristirahat, kemudian mulai mendirikan kemah untuk bermalam. Pada tengah malam Kafilah ini terbangun, karena ada suara lenguhan yang aneh dari luar kemahnya. Kemudian Kafilah ini keluar untuk mencari sumber suara tersebut, ternyata suara itu berasal dari untanya karena tidak kuat oleh dinginnya udara padang pasir di malam hari. Kafilah ini merasa kasihan, kemudian ia memutuskan untuk memasukkan kepala untanya ini ke dalam kemahnya untuk mengurangi rasa dingin. Selanjutnya Kafilah ini meneruskan tidurnya.

Beberapa saat kemudian Kafilah ini mulai bangun kembali ternyata unta ini masih kedinginan dan tidak bisa tidur karena badannya masih di luar kemah. Kemudian karena merasa kasihan, Kafilah ini memasukkan kaki depan untanya sehingga separuh badannya dimasukkan ke dalam kemah. Setelah itu Kafilah ini mulai kembali tidur.

Beberapa saat kemudian tiba-tiba… gubrakk!!! Dia sangat terkejut bukan main… kemahnya roboh bahkan Kafilah ini hampir mati karena tertindih badan untanya itu. Setelah diselidiki ternyata unta ini tidak hanya mau kepala dan kaki depannya yang dimasukkan ke dalam kemah tetapi seluruh tubuhnya mau dimasukkan ke dalam kemah agar tidak kedinginan.

Demikianlah halnya dengan dosa di dalam kehidupan kita. Terkadang kita mentolerir sedikit tindakan dosa untuk dilakukan karena berbagai alasan. Tapi ternyata dosa tidak berhenti di situ. Keinginan manusia seringkali menginginkan lebih dari itu, sehingga tanpa disadari dosa semakin menguasai kita. Kita harus berani berkata “STOP” untuk dosa!

“Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya. Dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran.” 
--Roma  6:12,13--

01 September 2010

ANAK KECIL & BATU BESAR

Ada seorang anak kecil yang sedang bercakap-cakap dengan sebuah batu besar yang ada di halaman rumahnya.

Anak kecil          :  “Hei batu besar, apa kerjamu disitu?”
Batu besar          :  “Aku tergeletak di atas tanah.”
Anak kecil          :  “Bila malam tiba, apa yang kamu perbuat?”
Batu besar          :  “Ya tetap di sini.”
Anak kecil          :  “Bila hujan datang atau ada badai bagaimana?”
Batu besar          :  “Ya, aku akan tetap di tanah ini.”
Anak kecil          :  “Ah, kasihan yang kamu… batu yang malang…”
Batu besar          :  “Tidak… aku tidak malang. Aku bahagia menjadi batu, seperti engkau bahagia menjadi anak kecil. Ketika kamu melompati aku atau berlari mengelilingi aku, aku tetap di tempatku. Aku tidak merasakan kedinginan kalau hujan, atau ketakutan bila malam gelap. Anak kecil, aku sungguh mensyukuri dan bahagia sebagaimana aku ada.”

Percakapan itu menyentuh hati si anak kecil yang tadinya selalu memprotes keadaannya, sebab baru saja ia menggerutu, “Kenapa adikku mukanya bulat dan lucu sehingga semua orang senang kepadanya sedangkan mukaku lonjong begini?”

Sekarang ini manusia di bumi bukan hanya mengalami kemunduran ekonomi, tetapi mereka juga mengalami kemunduran gambar diri. Tuhan telah menjadikan manusia sesuai dengan “gambar-Nya” (Kej. 1:27) dan “sungguh amat baik” (Kej. 1:31). Tapi manusia seringkali tidak puas dengan keberadaannya sendiri. Keluhan demi keluhan seringkali mewarnai perjalanan hidupnya, padahal Tuhan telah menanamkan potensi luar biasa dalam setiap insan. Setiap pribadi memiliki keunikannya sendiri-sendiri dan potensi khas dirinya.



“Hargailah diri Anda sendiri… dan Anda akan melihat dunia menghargai Anda!”

07 September 2009

BELAJAR DARI DAUD


Banyak orang tentu sudah pernah mendengar kisah Daud. Daud adalah anak Isai, dia bungsu dari delapan bersaudara. Dia adalah penggembala domba yang akhirnya menjadi raja Israel. Raja besar dengan prestasi luar biasa. Benar-benar pribadi yang istimewa.

Tapi kalau kita lihat proses yang harus dia lalui, dari orang kecil hingga jadi orang besar, dia harus melalui suatu proses yang panjang. Kita tidak tahu apakah dia pernah bermimpi akan menjadi raja besar. Tapi yang jelas Tuhan memakai dia untuk rencana besar-Nya. Pada awalnya, Daud dikisahkan sebagai seorang penggembala domba, (1 Sam. 16:11), tapi tidak disebutkan dia punya berapa ekor domba, Eliab (kakaknya) menyebutkan dua-tiga ekor (1 Sam. 17:28). Melihat kisah ini, sebagai orang yang masih sangat muda dan pekerjaannya sebagai penggembala domba yang "hanya beberapa ekor" itu,  Daud adalah orang yang dianggap sebelah mata oleh kakaknya, mungkin juga kebanyakan orang pada waktu itu juga. Sepertinya kehadirannya kurang diperhitungkan.

Di sisi lain, melihat begitu banyak mazmur yang sudah dia tulis, dia sepertinya juga orang yang suka menyendiri dan merenung ditemani oleh domba-domba dan kecapinya. Kemungkinan juga tidak banyak orang yang mengenalnya sebelum dia diurapi oleh Nabi Samuel dan dijadikan penghibur oleh Saul di istana dengan bermain kecapi.

Tapi mungkin justru di situlah Tuhan menempa Daud. Sebagai penggembala domba, sifat bertanggung jawab dan kepemimpinannya ditempa oleh Tuhan. Dengan permainan kecapi dan perenungannya, dia menjalin relasi yang akrab dengan Tuhan. Tuhan sudah menjadi sahabat tempat Daud mencurahkan segala pergumulannya. Daud dibentuk untuk setia terhadap hal-hal yang kecil untuk kemudian diberi tanggung jawab terhadap hal-hal yang besar.

Karakter yang luar biasa yang dimiliki Daud dan bisa menjadi inspirasi bagi kita, antara lain adalah:
  1. Dia adalah pribadi yang takut akan Tuhan dan senantiasa memelihara relasinya dengan Tuhan (1 Sam. 16:7; 17:37; lihat juga mazmur-mazmur yang ditulis oleh Daud).
  2. Dia seorang yang berpegang pada kebenaran yang dia yakini (iman) dan berani membelanya (1 Sam.17:36-37; 45-47).
  3. Dia adalah sosok yang bertanggung jawab dan memiliki integritas yang tinggi (1 Sam. 17:34-36).
  4. Dia menggunakan segala potensi yang ada padanya untuk melakukan yang terbaik.
Sebagai kaum muda, kehidupan Daud bisa menjadi inspirasi bagi kita. Tentu hal-hal positifnya yang harus kita teladani, karena sebagai manusia biasa, Daud juga pernah jatuh ke dalam dosa.


"Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu." 
--Filipi 4:8,9--



03 September 2009

SEPERTI POHON BAMBU


Di dusun tempat aku tinggal, hampir tiap kebun ada rumpun bambunya. Di sebelah utara dusun juga ada bukit-bukit yang banyak ditumbuhi pohon bambu. Bahkan ada desa yang menyajikan wisata kerajinan dari bambu. Begitu melimpahnya pohon bambu ini. Lalu... apa istimewanya dengan pohon bambu ini?!! Kalo bicara soal kekokohan kayu... tentu saja pohon jati lebih unggul. Kalo bicara soal buah, pohon bambu tidak punya buah.

Kalo kita perhatikan, ketika angin bertiup dengan kencang... katakanlah ada badai... pohon bambu adalah pohon yang paling bisa bertahan. Kuncinya ada pada reaksi pohon bambu terhadap angin itu. Pohon-pohon yang lain, antara lain pohon jati yang kokoh itu juga, ketika ada badai mereka justru seolah-olah menantang angin. Sehingga akibatnya banyak ranting-ranting yang patah atau bahkan malah pohon itu tumbang. Dengan karakter kayunya yang memang lentur, pohon bambu akan merunduk dan menunduk mengikuti arah angin. Ia membiarkan dirinya terombang-ambing oleh badai. Tetapi sifatnya yang lentur membuat pohon bambu akan tegak kembali dan tetap berpijak pada tanah tempat ia tertanam setelah badai itu reda.

Mungkin kita bisa belajar dari kisah pohon bambu ini. Di dalam kehidupan kita, kita sering diterpa oleh berbagai badai kehidupan, persoalan hidup, kesulitan, sakit-penyakit, dan penderitaan. Ketika badai itu datang, bagaimana sikap kita? Apakah kita akan menantang badai itu dengan kekuatan kita sendiri sehingga kita mungkin akan patah dan tumbang? Atau kita akan merunduk dan menunduk seperti pohon bambu yang lentur dan bertahan sampai badai itu reda sehingga kemudian kita bisa berdiri lagi?

Di dalam segala beban hidup kita, marilah kita senantiasa merunduk dan menunduk di hadapan Tuhan, dengan tetap bertahan dalam satu pengharapan. Kekuatan kita sendiri akan sulit untuk menahannya, tapi beserta Tuhan kita akan dapat bertahan. Merunduk dan menunduk untuk berdoa dan memberi tempat bagi Dia untuk memberi kekuatan dan berkarya. Sehingga pada akhirnya kita boleh tegak berdiri kembali.

"Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu." 
--Lukas 21:19--